Selasa, 18 Agustus 2009

DUNIA PENDIDIKAN SEKARANG INI

Menurut kamus yang saya baca, kata trend berarti: 1. Kecenderungan 2. Jurusan, arah gejala, jalan. Jadi kalau kata trend di-gandengkan dengan kata pendidikan modern, saya mengartikannya sebagai kecenderungan yang terjadi dalam dunia pendidikan modern dan hal itu menentukan arah laju dinamika dalam dunia pendidikan modern tersebut. Saya katakan modern karena bagi saya kita sebenarnya juga punya pola-pola pendidikan tradisional yang sangat beragam. Pendidikan yang dilakukan orang tua di Papua akan sangat berbeda dengan orang tua di Jawa, dan kita memiliki suku yang sangat beragam, bukankah hal ini menunjukkan betapa beranekanya pendidikan yang dilakukan oleh orang tua di Indonesia?
Lalu dinamika seperti apa yang terjadi dalam dunia pendidikan kita secara luas? Kejadian apa saja yang sedang terjadi di sana? Pertanyaan yang sukar dijawab karena musti melibatkan pengamatan yang cermat dan mustinya juga penelitian yang cermat. Oleh karena itu dalam tulisan ini saya hanya berusaha memaparkan apa yang dinamakan trend tersebut berdasarkan pengetahuan yang saya peroleh dari endapan sejarah, bacaaan, dan pengalaman yang saya peroleh di lapangan. Mungkin tulisan ini bisa dikategorikan sebagai sebuah permenungan yang bisa menjadi persiapan untuk suatu pemikiran atau tulisan yang bersifat akademik nantinya.
Biacara kecenderungan maka di otak saya segera saja terbayang perubahan besar-besaran yang sedang terjadi di dunia yang kita diami ini. Kata globalisasi mewakili dunia yang sedang berubah ini. Orang-orang melihat berbagai kemungkinan baru, cara hidup baru, pemikiran baru, pasar baru, dan semuanya merubah tatanan yang sudah lama ada. Kita yang sudah terbiasa dengan keluarga Jawa yang mangan ora mangan kumpul, tiba-tiba berhadapan dengan keluarga bahagia dengan dua anak yang ceria yang selalu kita lihat dalam iklan-iklan di televisi. Mau tidak mau tampilan itu merubah kecenderungan yang ada dalam masyarakat kita. Orang tidak lagi berkecenderungan memiliki anak banyak dan berpikir banyak anak banyak rejeki. Tentu saja perubahan ini mengubah nilai-nilai yang selama ini kita anut.
Ekspansi pasar yang melibatkan modal dan juga cara pandang baru terhadap modal merubah cara orang bekerja dan mempertahankan hidup. Dulu orang masih bisa istirahat dan bermalasan setelah menanam padi di sawah, ngopi dulu ke warung, sekarang sikap itu dianggap melalaikan kesempatan dan membuang waktu yang katanya sangat berharga. Pasar tradisional yang biasanya rame pada hari-hari tertentu jadi kuno dan diganti dengan pasar modern yang buka 24 jam. Semua diukur dengan pencapaian dan angka-angka yang konkret. Waktu adalah uang dan segala segi bisa dipasarkan untuk mengeruk modal sebesar-besarnya. Kecenderungan ini merubah cara kerja dan juga skill yang dibutuhkan oleh para tenaga kerjanya.
Perubahan ini mau tidak mau mengubah cara hidup masyarakat dan cara masyarakat mengatur berbagai birokrasi dalam kehidupan ini. Pengelolaan waktu, ruang, gaya, pakaian, cara hidup, pendidikan, pemerintahan, cara mencari uang, semua ikut berubah. Hanya saja sayangnya tidak semua orang menyadari dan menerima hal ini. Maka terjadilah perbenturan budaya karena kebiasaaan lama masih dirindukan dan dihayati tapi keadaan memaksa melaksanakan kebiasaan baru yang ada di depan mata.
Pendidikan sebagai salah satu lembaga—atau apapun namanya—yang ada dalam masyarakat tentu saja merasakan hal tersebut. Perubahan menuntut sistem dan cara yang berlaku dalam dunia pendidikan harus ikut berubah. Apalagi pendidikan dipercaya sebagai lembaga yang menyiapkan individu agar siap menghadapi tatantangan jaman. Dari sini saya teringat sekilas sejarah pendidikan modern kita. Dulu setahu saya Belanda merancang politik balas budi dengan mengupayakan pendidikan modern yang memadai bagi seluruh rakyat Hindia Belanda. Meskipun penuh muatan politis dan pembatasan di sana-sini, pendidikan modern yang digagas nampaknya menghasilkan tokoh-tokoh cerdas yang akhirnya menjadi founding father kita. Dari sanalah juga muncul para tokoh pendidikan seperti Ki Hajar Dewantara yang dengan berbagai idealismenya mendirikan sekolah bagi rakyat kebanyakan.
Pendidikan yang ada pada saat itu penuh dengan idealisme untuk memperbaiki bangsa dan mengajak bangsa ini menyamai peradaban di belahan dunia lain. Maka pendidikan dijalankan dengan semangat idealisme untuk membentuk nilai-nilai kejujuran, kreativitas, kebenaran, dedikasi, intelektualisme, etika, dan tanggung jawab bersama untuk menciptakan kemakmuran bangsa. Harapannya dengan pendidikan yang baik maka bangsa ini akan lebih beradab dan menjadi bangsa yang makmur. Melalui jalan berliku dan kadang berdarah-darah maka berbagai idealisme tersebut mulai tertanam dalam masyarakat kita. Buktinya jelas, kita bisa bersatu dalam wadah Indonesia ini karena kita terbentuk dalam pola yang diajarkan lewat pendidikan yang dijalankan oleh para pendahulu kita.
Setelah kemerdekaan maka pendidikan menjadi bagian tak terpisahkan dari pemerintah. Dia masuk ke dalam undang-undang dasar menjadi hak bagi semua masyarakat Indonesia. Maka mulailah pemerintah mengatur bahwa pendidikan diwajibkan dan diharuskan. Tentu saja sistem pendidikan modern yang kemudian diterapkan ke dalam sistem pendidikan di Indonesia ini. Pendidikan yang bersifat lokal sedikit banyak terabaikan dan bahkan mungkin tidak dilirik. Di masa Orde Baru dimana militerisme merupakan kekuatan yang menentukan maka pendidikan yang kita jalankan menjadi lebih seragam dan menghegemoni. Maka jadilah keluarga yang ideal dalam pendidikan kita hanyalah keluarga seperti keluarga si Budi dalam bacaan kita di masa kecil. Nilai keluarga yang baik adalah keluarga dengan anak sedikit. Begitulah pendidikan memiliki kecenderungan menjadikan masyarakat seragam.
Di sisi lain dunia yang mulai berubah juga memaksa berbagai elemen dalam pendidikan berubah. Nilai-nilai idealis yang dulu berusaha ditanamkan mulai bergeser kepada nilai-nilai pasar dan kebutuhan sesaat. Orang bersekolah hanya untuk mengejar ijasah dengan tujuan supaya dapat bekerja. Slogan ”mengupayakan pendidikan yang sesuai kebutuhan pasar”, membuat sekolah berupaya dengan keras menyesuaikan dengan berbagai kebutuhan jaman. Sekolah yang memberikan nilai-nilai ideal berbenturan dengan kebutuhan pasar dan tenaga kerja yang makin besar. Maka sekolah yang merupakan instansi pelaksana pendidikan memiliki kecenderungan hanya menjadi produsen tenaga kerja yang sesuai pasar. Kecenderungan ini dapat dilihat lewat maraknya berbagai kursus dan juga bimbingan tes yang memberikan cara-cara praktis dan instan untuk mencapai sukses. Juga hilangnya berbagai pelajaran budi pekerti dari kurikulum pendidikan kita. Orde baru sebagai mesin penggerak yang otoriter membuat situasi menjadi lebih runyam dan tidak kreatif dengan berbagai pemaksaan ideologi dalam pendidikan kita. Maka pendidikan menjadi sesuatu yang bersifat birokratis saja. Guru memiliki kecenderungan untuk mengacu kepada apa yang diberikan pemerintah saja tanpa kreatifitas untuk mengolahnya.
Dalam situasi tadi berbagai korupsi, kolusi, dan nepotisme menggelayut begitu kuat dalam dunia pendidikan kita. Soalnya birokrasi yang ada memuluskan berbagai praktek tersebut. Payung pendidikan yang berusaha idealis seolah menutupi berbagai kebusukan yang terjadi dalam dunia pendidikan kita.
Di dunia luar perubahan gaya hidup lewat globalisasi menyerang kembali dunia pendidikan modern kita. Berbagai kecenderungan baru yang membuat pendidikan menjadi industri memaksa sistem yang sudah tertata kacau itu mengikuti gerak kepentingan ekonomi yang begitu kuat. Maka berbagai sekolah yang bersifat international, unggul, ataupun berprestasi muncul dengan dasar ekonomi yang kuat dan memaksa sekolah yang dikatakan kuno gulung tikar. Tak heran banyak sekolah pinggiran sekarang menjadi tersingkir karena tidak menarik lagi dan tidak punya uang untuk mengelolanya menjadi lebih maju dan sesuai jaman. Di sisi lain mereka terbelit birokrasi yang menumpulkan kreativitas mereka. Sekolah bagi kaum miskin menjadi makin sulit dan mahal.
Berbagai keresahan dalam dunia pendidikan modern kita sekarang ini menurut saya merupakan akumulasi berbagai kecenderungan di atas. Ujian Nasional yang menuai kontroversi merupakan kelanjutan kecenderunagn birokratis dan hegemoni pemerintah. Kekerasan dalam pendidikan merupakan bagian dari kecenderungan militeristik Orde Baru. Berbagai muatan baru dalam pendidikan kita merupakan kelanjutan dari kecenderungan memenuhi kebutuhan pasar. Diluncurkannya Jaringan Pendidikan Nasional melalui internet bagi saya hanya sebatas pemenuhan kebutuhan pasar tanpa pola pikir yang jelas. Bagaimana mau jalan kalau komputer di sekolah masih dianggap barang keramat dan lebih banyak dianggurkan? Paling tidak itulah yang saya jumpai di lapangan.
Maka bagi saya trend pendidikan kita adalah trend mengikuti pasar tapi melupakan makna pendidikan yang sesungguhnya dengan berbagai idealisme di belakangnya. Benar kemajuan dan berbagai hal di atas ikut memeratakan kesempatan belajar. Tapi jika tidak diikuti pola pikir yang jelas maka akan sia-sia. Belum lagi hilangnya berbagai kemampuan lokal dalam ranah pendidikan kita membuat kecenderungan seragam masih menguat. Padahal bukan tidak mungkin berbagai kemampuan lokal itu sangat berarti bagi kehidupan anak didik kita dan masyarakat kita secara luas.
Merupakan tugas bagi kita semua untuk ikut memikirkan bagaimana menggabungkan idealisme, lokalitas, dan trend pasar global dalam mengelola pendidikan kita. SALAM PENDIDIKAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar